Saturday, February 9, 2013

Kaca

Aku lupa kapan pertama kali Aku menyadari bahwa Aku seorang anak laki- laki yang mempunyai cita - cita. Ketika duduk di Sekolah Dasar sebuah kota kecil Aku ingat betul Aku tidak ingin menjadi apa - apa selain seperti dia, bapakku. Menjadi seorang pekerja keras di sebuah perusahaan yang keras. Bekerja dari Pagi sampai sore atau sore hingga tengah malam dan terkadang dimulai saat hari mulai menghitam sampai matahari akhirnya bersinar lagi. Terlihat sempurna untukku saat itu. Namun semuanya berbeda ketika aku memasuki dunia Sekolah Menengah Pertama. 

Aku mengenal musik sejak telingaku bahkan belum bisa menyadarkan panggilan kedua orang tuaku. Sejak telingaku bahkan belum tergerak sedikitpun ketika guruku berbicara tentang bagaimana Jendral Soedirman memimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia. Tapi Aku sudah bisa mendengarkan alunan musik dari banyak band Amerika dan Inggris. Aneh. Tapi kemudian hal itu sangat meresap ke dalam seluruh elemen hidupku. Setiap sendi yang bergerak dan setiap jiwa yang melayang mengikuti arus pikiran yang sering berlari sendiri.

Aku berjalan sendiri tanpa siapa pun pendamping. Tidak ada yang lebih menyakitkan ketika rahim yang melahirkanmu dan tangan yang memberimu makan tidak pernah berjalan mendampingi. Apakah in sebuah kesalahan besar, seperti seorang anak yang membunuh karena sebuah ejekan? Aku tidak tahu kenapa sampai hari Aku menuliskan ini, alasan dibalik semua kejahatan cinta yang dilakukan mereka. Aku tidak salah. Aku tidak melakukan apa - apa. Aku hanya berjalan terkadang berlari dan tak jarang terjatuh. Dengan segala hormat Aku pergi meninggalkan untuk sebuah harta karun yang bahkan Aku sendiri tidak menginginkannya. Jakarta.

Kekerasan kota ini tidak menjuga menghancurkan batu - batu yang sudah ku susun rapi untuk sebuah perjalanan musik. Walaupun kota ini juga tidak membantu menguatkannya sama sekali. Suara - suara yang ku dengar justru semakin lantang, tak terkecuali. Aku melawan, Aku katakan kepada isi bumi dan angkasa kalau apa yang seharusnya terjadi bukan yang saat ini terjadi. Aku cuma ingin ini, Aku punya jalan dan lenteraku sendiri. Biarkan aku mengalun dalam tujuh tangga nada selamanya.

Aku duduk di atas sebuah perahu kayu reyot di sebuah danau kecil. Melihat permukaan air yang memantulkan bentuk dua wajah yang beradu dengan riak - riak kecil. "Aku tidak ingin melawan, Aku hanya mencoba meneruskan"


Kedai Kemang
15.07 WIB

No comments:

Post a Comment

Labels

ARIFA (1) Coretan (10) Emosi Jiwa (10) Fiksi (2) Minggu Pagi (4) Musik (10) Uncategorized (6)