Wednesday, March 6, 2013

Morat Marit Maret

GILA!! Sudah sampai saja di bulan ketiga tahun ini. Sama sekali tidak menyadari mengapa begitu cepatu waktu maju, lebih cepat dari kumis dan jenggot yang baru dipotong. Masih tertulis di benakku walaupun sudah mulai pudar, banyak titik - titik yang ingin ku capai sehingga nanti akan menggambarkan garis panjang kehidupan. Jika saat ini ada yang bertanya sudah berapa panjang garis itu, Aku akan menjawab "tidak lebih panjang dari rambut seorang perempuan Indonesia." Tidak jelek menurutku. Sebenarnya ketika Aku membuka halaman dan menulis ini, Aku berniat untuk tidak menceritakan apapun tentang diriku. Memang ini bukuku, ini halamanku, ini jemariku, tapi ini tidak melulu tentangku yang menghabiskan waktu di kursi empuk nan rupawan, menunggu datangnya senja lalu kembali pulang mencoba merakit puzzle otakku, mengingat apa sebenarnya hasratku. Oh maafkan Aku kawan, sudah tersebutkan. Lebih baik ku lanjutkan.

Bulan ini kulkas di rumahku kosong, tidak seremah pun tertinggal selain remah es batu. Tau mengapa? Aku yang mengosongkannya kemarin. Aku lelah dengan tempat tidurku yang panas dan bau tembakau. Aku mau  selalu dingin di tengah isu global warming yang Aku sendiri sudah tak ingin peduli. Kamarku sesak! Setiap malam belasan orang datang, berkumpul, tertawa, bernyanyi dan berdansa. Bahkan lebih sempit dari semua ruang penjara yang ada di negara ini.

Bak mandiku bocor karena semen penahannya sudah berjamur. Mungkin dulu kualitasnya tidak sebagus saat ini. Tapi ini berbeda dengan rambut. Belum pernah ku lihat rambut perempuan saat ini, sehitam dan selebat rambut Ibuku, perempuan 1963. Dewasa ini perempuan terbelalak dengan fatamorgana kehitaman dan kelebatan rambut. Bukan masalah besar selama kalian tidak terperangkap di dalamnya. Seperti terperangkap dalam kemacetan senayan, bisa habis semua bulu di kepala.

Mobilku rusak lagi, entah apa sekarang yang merusaknya. Tetapi Aku tidak percaya jika ternyata yang melakukan adalah gerombolan anak bocah kecil yang basah karena Tuhan menangis lagi. Tuhan sedih cintaNya tak berbalas, tak satupun. Sang Kekasih tak mampu menjaga keindahan kembang - kembangNya. Tak kuat menahan gempuran penguasa hingga hancurlah pagar - pagar besi tata negaraNya. Sang Kekasih juga tak berdaya melawan perompak, tak berdaya hingga mengorbankan cintaNya.

Tuhan sedih wahai Maret...

Labels

ARIFA (1) Coretan (10) Emosi Jiwa (10) Fiksi (2) Minggu Pagi (4) Musik (10) Uncategorized (6)